HomeHeadlineSaatnya Jokowi Membatasi Diri?

Saatnya Jokowi Membatasi Diri?

Keterlibatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam wacana Koalisi Besar pemerintah semakin menarik untuk disorot. Banyak yang kemudian mempertanyakan etika politik di belakangnya. Mengapa Jokowi seakan semakin berani menunjukkan dukungan politiknya? 


PinterPolitik.com 

Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) sudah di depan mata. Seluruh lapisan masyarakat ramai-ramai menilai dan menimbang calon presiden (capres) mana yang paling cocok untuk melanjutkan pemerintahan Indonesia setelah periode ke-2 Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Nah, karena itu, setidaknya dalam dua minggu terakhir para kantor media sibuk membicarakan wacana Koalisi Besar pemerintah yang nampaknya sedang dipersiapkan oleh para elite partai kabinet Jokowi. Bagaimana tidak jadi perbincangan, wacana koalisi ini membayangkan kekuatan gabungan lima partai besar, yakni Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB, PAN, dan PPP. 

Namun, yang membuat orang benar-benar tertarik pada wacana koalisi ini sepertinya bukanlah potensi kekuatan masing-masing partai anggotanya, melainkan gelagat politik yang ditunjukkan Presiden Jokowi terhadap koalisi tersebut. Kalau kita ikut perkembangan beritanya, Jokowi beberapa kali diniliai sebagai figur sentral dalam merealisasikan wacana koalisi tersebut. 

Setelah didesuskan semenjak pertemuan Jokowi dan para Ketua Umum (Ketum) partai pada 2 April silam, dugaan bahwa Jokowi akan menjadi kunci dari koalisi partai pemerintah kembali diperkuat usai menggelar acara halalbihalal dengan para Ketum partai 2 Mei ini. 

Awalnya, pertemuan itu disebut hanya untuk sekadar silaturahmi pasca lebaran, akan tetapi nihilnya Ketum Partai Nasdem, Surya Paloh memancing kecurigaan publik bahwa pertemuan ini lebih bernilai politik ketimbang silaturahmi. Apalagi, Jokowi sendiri sudah mengatakan bahwa absennya Nasdem adalah hal yang disengaja, agar Paloh dan kawan-kawan tidak mengetahui strategi politik dari koalisi lain. 

Dinamika politik ini lantas membuat sejumlah lapisan masyarakat, katakanlah, merasa tidak nyaman. Pengamat politik, Rocky Gerung, misalnya, menyentil Jokowi sudah terlalu banyak “cawe-cawe” atau ikut campur dalam urusan Pilpres 2024. Gelagat dirinya yang sering mengumpulkan para Ketum partai seakan menggambarkan bahwa Jokowi tidak ingin kehilangan “genggamannya” dalam politik Indonesia. 

Meskipun Jokowi sendiri merespons bahwa dirinya tidak pernah cawe-cawe, sikap politik yang ditunjukkannya nampak belum bisa meyakinkan pada publik bahwa dirinya memang tidak terlibat dalam formulasi capres-cawapres 2024. 

Dari sini kemudian bisa kita pertanyakan, apakah “cawe-cawe” Jokowi ini sudah kelewatan? Dan, kalau iya, mengapa ia tetap melakukannya? 

jokowi terlalu cawe cawe

Persoalan Etika Politik 

Meskipun mungkin apa yang dikatakan Jokowi benar bahwa apa yang dilakukannya tidak melanggar konstitusi, kita pun seharusnya tidak boleh melupakan pentingnya keberadaan etika politik.  

Andrew Stark dalam bukunya Conflict of Interest in American Public Life, menyebutkan bahwa sesuai etika politik, sejatinya seorang pejabat tidak sepantasnya menggunakan kekuatan jabatannya untuk kepentingan di luar kebutuhan jabatan tersebut, atau negaranya.  

Kalau apa yang dilakukan pejabat tersebut bermuara pada kepentingan di luar hal-hal di atas, maka itu hanya akan menunjukkan pada publik bahwa dirinya tidak menganggap kebaikan atau keburukan moral sebagai sesuatu yang sanggup membatasinya. 

Baca juga :  Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Pertanyaannya kemudian adalah, kalau memang tidak sesuai etika politik, kenapa Jokowi tetap terlihat pede melibatkan dirinya dalam pusaran capres-cawapres 2024? Well, bisa jadi ini karena sebenarnya hampir tidak ada konsekuensinya bila seorang pejabat melakukan sesuatu yang mungkin dianggap tidak sesuai dengan etika politik. 

Kalau kita berkaca ke beberapa tahun lalu, perdebatan etika politik Jokowi sebagai presiden sebenarnya sudah pernah didebatkan ketika anak dan menantunya menjadi pejabat publik. Yap, seperti yang kita ketahui, anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming kini menjadi Wali Kota Surakarta, sementara Bobby Nasution, menantunya, menjadi Wali Kota Medan. Meski demikian, seakan mendapat persetujuan universal, fenomena politik itu dilumrahkan begitu saja oleh publik. 

Untuk menjawab persoalan etika ini, kita bisa berkaca pada penelitian Amalia Syauket dan Nina Zainab berjudul Social Permissive Reasoning as Inherited Poverty (Critical View of a Political Dynasty Prone to Corruption). Dalam penelitian ini, Amalia dan Nina menyebutkan bahwa praktik korupsi dan dinasti politik berkorelasi kuat dengan budaya permisif masyarakat Indonesia. 

Dalam dinasti politik Ratu Atut di Banten, misalnya, itu terjadi karena perilaku masyarakat yang sangat permisif, khususnya terhadap politik uang. Meskipun berbagai kasus korupsi mendera dinasti politik Ratu Atut, sebagian masyarakat merasa itu bukan urusannya. Yang terpenting, kehidupan sehari-harinya dapat terpenuhi.  

Amalia dan Nina juga mengatakan bahwa hal semacam ini bisa semakin lancar terjadi karena para elite politik Indonesia juga menunjukkan sikap permisif yang sama.  

Dari sini, bisa kita asumsikan bahwa bisa jadi Jokowi kembali mengandalkan sifat permisif masyarakat Indonesia dalam polemik “cawe-cawenya” pada perkara persiapan capres-cawapres 2024. Kritik dan sentilan dari pengamat atau oposisi mungkin akan muncul, tapi pada akhirnya, sesuai dengan kebiasaan masyarakat kita, hal ini akan berlalu begitu saja. 

Mungkin, satu-satunya yang bisa menghentikan cawe-cawe Jokowi tersebut adalah penolakan atau protes dari para Ketum parpol. Kalau saja para partai besar yang diajaknya bertemu menyebut ini tidak sesuai etika, maka mungkin akhirnya manuver politik Jokowi dalam menyambut pilpres tidak akan se-kentara sekarang. 

Namun, sesuai perkembangannya, hal itu sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Lantas, bagaimana kita melihat fenomena politik cawe-cawe ini dalam aspek panjang bagi citra politik Jokowi? 

image 7

Jokowi Justru Perlu Hati-hati? 

Pada November 2022 sempat ada diskursus menarik tentang perkiraan manuver politik Jokowi dalam menyambut Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024). Andi Arief, Ketua Bappilu Partai Demokrat menyebut Jokowi sedang merasakan tahap yang disebut sebagai sindrom “bebek lumpuh”. 

Di dalam dunia politik, istilah bebek lumpuh ini kerap disematkan pada seorang pejabat tinggi, seperti kepala negara yang sudah mendekati akhir jabatannya dan / atau tidak bisa menyalonkan dirinya kembali dalam pemilu selanjutnya.  

Baca juga :  Ironi Jokowi & “Lumpuhnya” Pasukan Penjaga Perdamaian PBB

Seperti yang dikatakan John Sawatsky dalam tulisannya The Politics of Ambition, pejabat yang dalam kondisi seperti ini selalu diprediksi memiliki kekuatan atau pengaruh politik yang melemah karena ia akan segera melepaskan jabatannya. Pengaruh ini semakin kuat bila orang tersebut bukanlah seorang Ketum di partainya. 

Kekhawatiran itu sendiri bisa bermacam-macam, mulai dari potensi adanya pemakzulan, “sabotase” agenda politik, sampai sekadar pencorangan nama baik. Dua hal pertama tadi, jika kita refleksikan pada presidensi Jokowi, seperti yang diungkapkan Ahli Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, bisa jadi adalah kekhawatiran Jokowi tentang kelangsungan proyek Ibu Kota Negara (IKN), dan potensi penjeratan hukum.  

Oleh karena itu, seseorang yang merasa dirinya akan menjadi bebek lumpuh akan melakukan manuver-manuver yang tujuannya adalah untuk memperkuat pengaruh politiknya meskipun ia sudah di ujung masa jabatan.  

Namun, kalau memang hal di atas jadi salah satu kekhawatiran yang membuat Jokowi merasa perlu ada harmoni antara dirinya dengan partai koalisi pemerintah, maka sepertinya ia pun perlu berkaca kembali pada adagium Latin kuno: Homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). 

Seperti yang kerap dibicarakan orang-orang, dunia politik adalah dunia yang sangat dinamis. Dua pejabat mungkin bersahabat di kabinet yang sekarang, tapi setelah salah satunya merasa dirugikan, maka tidak akan ada yang bisa menghambat salah satu pejabat itu untuk menjerat sahabatnya. 

Untuk saat ini, mungkin para Ketum parpol masih merasa perlu mendekatkan diri ke Jokowi, karena dukungan presiden kepada salah satu capres memang memiliki bobot yang kuat. Tapi, di luar hal itu mungkin tidak banyak yang bisa membuat para ketum tadi merasa tetap terikat pada Jokowi.  

Secara politik, Jokowi tetaplah bukan seorang elite yang setara dengan level ketum, kemudian dari aspek dukungan suara, Jokowi mungkin akan kalah pengaruhnya dengan para aktor politik yang punya ikatan dengan organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama (NU), misalnya. 

Dengan demikian, kalau kita melihat dari aspek jangka panjang, sebenarnya peluang bagi para elite politik untuk “mengkhianati” Jokowi nantinya ketika pilpres tetap ada. “Cawe-cawe” yang selama ini dilakukannya pun justru bisa jadi pisau bermata dua ketika ada pihak yang ingin menggunakannya untuk membuat framing politik bahwa Jokowi adalah presiden yang tidak netral dalam urusan politik. 

Pada akhirnya, tentu semua ini hanyalah interpretasi belaka. Sebagai rakyat sipil biasa kita tidak akan pernah tahu secara pasti skenario politik seperti apa yang sebenarnya sedang digodok oleh para elite politik. Yang jelas, besar harapannya masih ada beberapa di antara mereka yang masih peduli dengan persatuan dan harmoni di antara masyarakat Indonesia. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?